Quiet Quitting: faktor pemicu, dampak, dan sinyal protes dari karyawan

 

Saat ini marak sekali pembahasan quiet quitting di berbagai sosial media. Sebenarnya istilah Quiet quitting ini sudah lama ada dan sering terjadi dalam dunia kerja. Hanya saja menurut survey yang dilakukan oleh Gallup mengungkapkan bahwa tingkat stress karyawan ini cenderung meningkat dari 38% di tahun 2019 menjadi 43% di tahun 2020. Bahkan menurut CNBC, di tahun 2024 ini sekitar 90% karyawan di UK adalah pelaku quiet quitting. Hal itu berarti hanya ada 10% karyawan yang feeling engaged dengan pekerjaannya.



Tingkat stress yang cukup tinggi ini secara tidak langsung berpengaruh pada naiknya pelaku quiet quitting. Quiet quitting adalah tindakan dimana seorang karyawan memutuskan untuk bekerja seperlunya sesuai tanggung jawab dan tingkatan gaji yang dia peroleh. Pelaku quiet quitting biasanya membatasi dirinya untuk tidak terlalu sering berinteraksi di lingkungan kerja baik secara langsung ataupun melalui media chatt.

Ada banyak faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan quiet quitting. Selain faktor eksternal, seperti: tidak puas dengan penilaian kinerja, tidak mendapatkan gaji yang sesuai, tidak diperlakukan dengan adil, atau mendapatkan beban pekerjaan yang melibihi porsi jabatan, faktor internal dari karyawan sebagai pelaku quiet quitting juga sangat berpengaruh. Biasanya, karyawan yang berani melakukan quiet quitting adalah karyawan yang memendam kekecewaan cukup besar pada perusahaan namun memiliki kemampuan atau skill yang mumpuni untuk menyelesaikan semua beban kerjanya sendiri.

Jika anda seorang leader, maka anda harus jeli akan perubahan sikap yang terjadi pada karyawan anda. Cermati baik-baik dan selesaikan masalah tersebut secepat mungkin sebelum berimbas ke hal lainnya. Seorang leader yang baik biasanya mengetahui permasalahan yang sedang terjadi diantara karyawannya serta mampu meyelesaikan masalah intern tersebut. Hindari sikap yang justru memperkeruh suasana dan berimbas pada munculnya gape diantara karyawan.

Percayalah, quiet quitting tak lebih seperti bom waktu yang tersimpan di dalam benak karyawan anda. Saat dia tak mampu lagi menahannya maka ledakan yang terjadi biasanya akan cukup dahsyat dan mampu membuat anda sebagai bos terperanga. 



Berikut beberapa alasan karyawan melakukan quiet quitting dari sudut pandang saya, sebagai pelaku quiet quitting saat itu;

Pertama, saya merasa bahwa saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya sendiri, dengan baik, dan tepat waktu. Saya tipe orang yang disiplin dalam mengatur waktu kerja. Bahkan, saya termasuk karyawan yang jarang sekali terlambat untuk sekedar absen atau mengikuti briefing pagi. Saya tipe orang yang akan tetap bekerja sesuai porsinya tanpa harus diawasi Bos. Bagi saya, kinerja adalah nomor satu. Jadi saya akan tetap bekerja dengan baik dan tidak terlalu pusing saat bos stay dikantor atau pergi seharian.

Kedua, saya mempunyai kehidupan pribadi selain di kantor. Saya bukan tipe orang yang suka berlama-lama dikantor dan mencari-cari pekerjaan untuk diselesaikan menjelang waktu pulang. Saya harus membagi waktu saya dengan adil antara kantor dan rumah. Saya juga bukan tipe karyawan yang suka mencari-cari tambahan jam lembur untuk menutup biaya pengeluaran perbulan. Saya merasa bahwa gaji yang saya terima setiap bulan sudah sangat cukup, bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan hidup atau untuk sekedar memenuhi hasrat healing saya yang terkadang diluar nalar.

Ketiga, saya tidak bisa berbasa-basi di hadapan orang yang tidak saya suka. Jujur, saya tidak terlalu respect dengan leader dan rekan kerja yang penuh intrik dan drama. Lingkungan kerja seperti itu sungguh menguras energi dan memberikan dampak negatif untuk kehidupan sehari-hari. Banyak sekali intrik dan drama yang bermunculan antara karyawan satu dengan karyawan lainnya. Biasanya saya memberi batasan dalam berinteraksi dengan rekan kerja. Saya hanya akan bertegur sapa seperlunya saja dan menghindari banyak mengobrol dengan mereka.



Keempat, saya bukan tipe orang yang suka mengumbar kehidupan pribadi di status whatssap sehingga memungkinkan diketahui banyak orang. Saya sangat menjaga privasi dengan memberi Batasan antara kehidupan pribadi dan kantor. Bisa dibilang, aplikasi WA adalah aplikasi khusus untuk bekerja, jadi saya tidak akan memposting apapun yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Bagi sebagian orang sikap saya ini dianggap aneh dan anti sosial, padahal sah-sah saja menurut saya. Adalah hak kita untuk memberi batasan ke orang lain tentang apa yang boleh dan tidak boleh mereka konsumsi dari kita.

Kelima, saya selalu berpegang pada SOP perusahaan. Jika saya yakin yang saya lakukan itu benar, dan telah mendapat validasi dari pemegang jabatan yang lebih berwenang maka, saya akan melakukan itu walaupun rekan kerja akan melabelling saya dengan istilah “mempersulit” atau “tidak support”. Imbasnya sudah bisa ditebak, saya akan dikucilkan atau dibenci seisi kantor. Hehe, tak apa, itu bukan masalah untuk saya. Percayalah, saat kalian “jatuh”, orang yang mengaku teman saat meminta bantuan padamu tidak akan mau membantumu. Kenapa? Karena hanya ada 2 pilihannya; jika dia menolongmu akan berdampak buruk pada karirnya atau membiarkanmu “jatuh sendiri” untuk mempertahankan karirnya.

Keenam, saya selalu bertanggungjawab atas pekerjaan saya dengan baik. Saya selalu berusaha melakukan pekerjaan saya dengan baik agar zero fault. Saya berusaha melaksanakan kewajiban saya untuk perusahaan dengan mematuhi segala peraturannya. Saya berangkat tepat waktu, mengikuti briefing pagi dengan tertib, melakukan pekerjaan dengan penuh tanggungjawab, dan berusaha menyelesaikan semua tugas tepat waktu. Setelah itu, saya akan segera pulang saat jam pulang tiba.

Itulah beberapa faktor internal kenapa karyawan memilih melakukan quiet quitting dari sudut pandang saya sebagai pelaku. Semua pelaku quiet quitting mempunyai alasan yang berbeda-beda. Rata-rata pelaku quiet quitting dianggap sebagai trouble maker saat di kantor, padahal yang tejadi justru sebalikya.

Motivasi karyawan ini hanya ingin mendapatkan kenyamanan dan pengakuan yang layak. Mereka biasanya menyelesaikan pekerjaanya dengan baik dan memiliki kinerja yang cukup mumpuni, hanya saja tidak tertarik mencampuradukkan kehidupan pribadinya ke lingkungan kerja. Pelaku quiet quitting mempunyai prinsip hidup yang kuat sehingga berani mengambil keputusan yang berbeda dari kebanyakan orang.



Saya pribadi adalah pelaku quiet quitting sebelum akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaan saya. Saya menghabiskan hampir 5 tahun dari 11 tahun masa kerja saya untuk quiet quitting. Efek positif yang saya rasakan cukup beragam, dari segi mental yang lebih sehat, rekan kerja yang tidak lagi mengintimidasi, serta deskripsi pekerjaan yang jelas di kantor (yang berarti saya tidak perlu mengerjakan pekerjaan orang lain di luar tanggungjawab saya). Perlu keberanian ekstra untuk memutuskan melakukan hal tersebut karena efek negatif yang saya dapatkan juga luar biasa.

Intinya adalah, setiap keputusan yang kalian ambil akan membawa dampak positif dan negatif. Jadi persiapkanlah mental dan finansial kalian dengan baik. Persiapkanlah segalanya dengan matang. Jangan sekali-sekali bertindak gegabah. Jika kalian mempunyai cita-cita, bangkit dan wujudkan. Saat skill kalian tidak dihargai, pergi dan cari tempat lain yang mau menghargai skill kalian. Kalian istimewa di tempat yang tepat!

Tetap semangat, ya!

Posting Komentar

0 Komentar