Dear Anak Pertamaku, Maafkanlah Aku!

 

ilustrasi by Resa Roosmana

Kehidupan manusia itu selayaknya mentari, kadang terbit, dan kadang tenggelam. Hal itu pula terjadi dalam momen kehidupanku, ada yang sedih, ada juga yang membahagiakan. Menikah, ya, momen terindah dalam hidupku, setidaknya untuk saat itu. Mengapa? Karena momen itu sangat kunanti, “Aku ingin menikah!”, begitu kira-kira kata hatiku.

Alasannya klise, selain untuk ibadah, aku lelah dengan pertanyaan “kapan nikah?” dari para sesepuh keluarga besar. Jadi, kupikir dengan menikah cerita hidupku yang seperti rollercoaster akan menjadi mulus nan lancar. Toh, aku juga sudah memiliki calon yang siap meminangku secepatnya. Ternyata aku salah, pernikahan bukanlah akhir dari perjalanan hidup. Namun, justru inilah awal mula cerita hidupku dimulai.

 

Bahagia dengan Anak Pertama

source: google


Momen Kehamilan dan Kelahiran Anak Pertama

Masih ingatkah kalian dengan momen kehamilan pertama setelah menikah? Sangat membahagiakan, bukan? Akhirnya, janin yang dinanti-nanti hadir juga. Ada pasangan yang ditakdirkan cepat menimang sang buah hati, tapi ada yang butuh bertahun-tahun untuk mendapatkan momongan.

Berharap tidak haid adalah harapanku setiap bulan. Hatiku mulai resah saat seminggu tak kunjung datang bulan. Mulailah aku memberanikan diri ke apotek membeli 1-2 buah test pack. Bulan pertama ternyata Allah belum menakdirkanku hamil. Menginjak bulan kedua, aku mulai terlambat haid lagi. Aku memberanikan diri untuk test pack dan ternyata, positif! Dua garis merah itu terlihat sangat samar. Namun, garis samar itu mampu mengubah segalanya.

Perasaanku benar-benar haru dan bahagia. Momen itu terjadi saat suami sedang santap sahur. Seketika itu juga aku langsung keluar dari kamar mandi dengan girang. Seolah ingin segera menunjukkan dua garis merah ini ke suamiku. Bagaimana rasanya? Ah, jangan ditanya! Sudah pasti sangat bahagia!

Ya, momen pertama adalah momen yang sangat indah. Kalian akan sepenuh hati menjaga janin yang ada dalam kandungan. Berkunjung ke dokter spesialis kandungan adalah hari yang kami tunggu-tunggu. Mengapa? Karena hanya di momen itulah kami bisa melihat calon anak pertama kami melalui USG. Rasa haru tak terkira saat dokter mendengarkan detak jantungnya dan berkata, “janinnya berkembang dengan baik ya, Bu.” Senyum kami pun merekah, nampak setitik air di sudut mata suamiku karena bahagia.

Masih ingatkah sensasi melahirkan sang buah hati untuk pertama kali? Bagaimana rasanya? Semua rasa sakit mendadak hilang saat sang buah hati lahir ke dunia. Ya, aku melahirkan seorang bayi perempuan yang sehat denganf isik yang sempurna dan lengkap. Tangisan pertamanya mengubah status kami menjadi seorang Ayah dan Ibu. Sudah barang tentu kebutuhan si kecil telah kami siapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Dari baju, sepatu, dan pernak-pernik lainnya sudah tertata rapi.

 baca: Perintah menutup aurat bagi wanita


Si Sulung Punya Adik dan Momen Pertemuan Pertama Mereka

Saat si Sulung berusa 1 tahun 8 bulan, aku kembali mendapat anugerah dari Allah ï·». Ya, aku hamil untuk ke dua kalinya. Banyak yang bilang jarak kehamilanku terlalu dekat dengan usia si Sulung. Aku iya-kan saja komentar mereka karena aku enggan berdebat. Trimester awal kehamilan ke dua ini cukup membuatku lelah. Namun, aku masih bisa menjaga si Sulung dengan baik. Pola asuhku padanya tidak ada yang berubah. Aku masih memandikannya setiap pagi, mengantarnya ke Day care (karena saat itu aku masih bekerja), dan menemaninya tidur saat malam. Rutinitasku tidak ada yang berubah. Si Sulungpun mulai paham bahwa di dalam perut gendutku ini ada makhluk lucu yang kelak akan dipanggilnya “adik.”

Kami selalu mengajaknya datang ke dokter kandungan untuk melihat calon adiknya. Kami juga mengajaknya berbelanja keperluan bayi. Mungkin tak sebanyak belanjaanku saat anak pertama, kali ini lebih sedikit, hehe. Karena jarak mereka cukup dekat jadi, beberapa baju dan perlengkapan lainnya masih bisa kupakai kembali.

Tibalah hari yang dinanti, si kecil dalam perutku mulai berontak. Alhamdulillah dalam waktu yang cukup singkat, seorang bayi laki-laki lahir dengan selamat. Semakin lengkaplah kebahagiaan kami sebagai orang tua, memiliki sepasang putra putri yang sehat dan sempura.

Masih kuingat momen pertama Kakak melihat bayi mungil yang berada di samping tempat tidurku. Tatapan matanya heran seolah bertanya, “siapa ini?”, “kenapa dia ada di dekat Ummaku?”. Mukanya terlihat serius dengan tangan mencengkeram erat jari telunjukku. Aku berkata padanya, “Kak, ini adik yang ada dalam perut Umma. Kakak sudah lama pengen ketemu, kan?”, jelasku perlahan sembari tersenyum.

 

Mengapa Aku Harus Meminta Maaf pada Anak Pertamaku?

Maaf, Nak. (source: pexels)


Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulanpun berganti tahun. Tanpa terasa bayi kecil yang dulu hanya bisa menangis sudah tumbuh besar dan lincah. Langkah pertamanya membuat kami tersenyum lebar. Ya, anak Bungsuku sudah bisa berjalan sendiri. Lalu, bagaimana dengan si Sulung? Usia si Sulung yang menginjak 3 tahun sedang dalam masa aktif-aktifnya. Tak jarang aku merasa kewalahan menghadapi aktifnya si Sulung dan si Bungsu secara bersamaan.

Jangan bayangkan si Sulung dan si Bungsu bisa bermain bersama. Tentu tidak! Tiada hari tanpa pertengkaran, teriakan, dan tangisan dari mereka. Tak jarang tingkah mereka membuat kami stres dan bingung harus berbuat apa. Berebut mainan, berebut dimandikan Ibu, bahkan berebut digendong sang Ayah sudah jadi hal biasa buat kami. Hal itu kadang membuat kami berselisih menentukan siapa yang harus “di bela”, sang Kakak atau sang Adik?

Aku, si anak pertama dengan latar belakang pola asuh semi militer, bertemu dengan suami, si anak lelaki bontot dengan pola asuh yang lebih dari militer, membuat kami memiliki pola didik yang berbeda. Terkadang kami bingung harus berada di pihak kakak ataukah adik. Siapa yang harus mengalah, kakak atau adik? Pertengkaran merekapun membuat kami ikut berselisih dan tak jarang berujung pada pertengkaran “anak Sulung VS anak Bungsu”. Hahaha, lucu bukan?!

 

Aku Memaksa Sang Kakak “dewasa” Sebelum Waktunya

Ah masa, sih? Aku mengingat kembali momen dimana kakak harus mengerti keadaan emosi kami sebagai orang tua. Saat kakak mulai memiliki adik di usia yang masih terbilang dini, yaitu 2 tahun 8 bulan, kami memaksanya untuk berbagi perhatian dengan sang adik. Padahal saat itu kakak sedang dalam masa pertumbuhan dimana dia sungguh memerlukan perhatian dari sosok Ayah maupun Ibu.

Maksud “dewasa” di sini adalah kecerdasannya mengelola emosi. Secara tidak langsung aku menuntutnya untuk memahami keadaanku. Dia harus mengerti jika aku sedang repot mengurus adiknya, dia harus paham jika aku sedang lelah dan tidak ingin diganggu. Padahal, dia sedang berada dimasa aktif dan butuh teman bermain untuk perkembangan motorik serta otaknya. Lalu, apa yang aku lakukan?

Sebagai Ibu, aku justru memaksanya untuk memahami keadaanku. Aku mengatakan padanya bahwa aku harus menyusui sang adik, aku harus menggendong sang adik, dan aku menolak ajakan bermainnya. Sering juga aku menegurnya untuk tidak berisik karena sang adik baru saja terlelap. Terkadang, aku menyuruhnya bermain seorang diri didepan TV agar tidak mengganggu sang adik yang tidur. Sementara aku? Aku berada di kamar bersama sang adik. Sungguh, aku merasa jadi ibu paling jahat saat itu! Aku sering menangis sendiri setiap malam saat menidurkan anak-anakku. “Kak, maafin Umma, ya”, ucapku terisak sambil mengecup kening anak pertamaku. 


Perhatianku Berkurang untuk Sang Kakak

Tidak hanya terbagi dengan sang adik, kadang perhatian untuknya juga berkurang karena aku yang ingin mewujudkan “mimpi” ku. Tidak semua pasangan berada dalam keadaan siap untuk memiliki buah hati. Ada yang memilikinya pada saat ekonomi keluarga sedang diuji, ada juga yang memiliki buah hati saat karir sang ibu sedang berada di puncak. Kemudian, saat si anak lahir, sang ibu akan dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Bertahan atau melepaskan?

Tak jarang seorang wanita belum bisa menjalani perannya sebagai ibu secara utuh. Ada banyak faktor yang menuntut seorang ibu berperan ganda. Sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga, peran ganda ini rawan membuat seorang wanita mengalami stress dan kelelahan. Akibatnya? Perhatian kepada anak jadi berkurang. Hal paling menakutkan adalah saat emosi si Ibu tidak dalam posisi stabil. Anak yang tidak tahu apa-apa bisa menjadi sasaran amarah dari orang tua.

Menjadi wanita karir dengan dua orang anak yang masih sangat kecil sungguh melelahkan. Aku benar-benar dituntut untuk “sempurna” dalam semua hal. Sudah barang tentu perhatianku kepada sang kakak terbagi dengan sang adik. Kadang, sang kakak yang ingin bermain dengankupun harus tertunda karena aku harus mengurus sang adik. Kamipun harus berbagi peran, suami mengurus kakak, sedangkan aku mengurus adik. Waktu yang kupunya untuk kakak hanya sedikit. Kadang aku menyempatkan menemaninya menjelang tidur. Namun, itupun sangat jarang karena aku harus menidurkan sang adik terlebih dahulu.

 

Aku Sering Marah Padanya


Baca: Tips mengatasi tantrum pada anak

Usia-usia aktif sang kakak memang mengetes kesabaranku. Banyak sekali gebrakan yang mengejutkan setiap harinya. Dari mulai menyapu lantai dengan bedak tabur, bermain gelembung dengan sabun cair, mewarnai tembok dengan crayon, dan masih banyak lagi. Kadang aku bisa bersikap tenang, tetapi tak jarang akupun terpancing dan marah.

Aku sering memarahinya karena melakukan sesuatu yang menurutku tak masuk akal. Padahal sebenarnya aku tahu dia melakukan itu karena rasa ingin tahunya yang tinggi. Seharusnya aku memaklumi tingkah polahnya di usia toddler. Namun, sering kali aku tak tahan dan naik pitam. Akibatnya, amarah yang seharusnya tak ku lakukan harus dia terima. Ada rasa sedih dan menyesal setelahnya. Mengapa aku tidak mampu mengontrol emosiku? Mengapa aku tidak mampu menahannya? Cobalah bersabar sedikit lagi!

Penyesalan demi penyesalan sering aku rasakan setelah aku melukai anak pertamaku. Tidak seharusnya dia menerima ini. Seharusnya aku bisa lebih adil dalam membagi waktu dan kasih sayang. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti bekerja dan fokus mengurus anak. Petanyaan yang paling membuatku sedih adalah saat anak pertamaku bilang, “Um, kapan sih Umma bisa jemput aku?  Semua temanku dijemput Ibunya, cuma aku aja yang ngga dijemput.”

Pertanyaan sepele memang, namun mampu menusuk dadaku dan membuat mataku berkaca-kaca. Aku sadar, aku sudah melakukan banyak kesalahan pada anak pertamaku. Aku merasa kurang adil dalam mendidik dan merawatnya. Oleh sebab itulah aku memutuskan untuk menyudahi karirku dan menjadi ibu seutuhnya. Aku ingin membayar semua kesalahanku padanya dulu. Aku ingin selalu ada untuknya saat dia butuh. Aku ingin menemaninya belajar dan mengerjakan PR, menjemputnya saat pulang sekolah, bahkan ingin merawatnya saat dia sakit.

Ucapan “Masakan Umma enak!” yang keluar dari mulut sang kakak lebih berharga dibanding setumpuk prestasi kinerjaku di kantor. Melihatnya tersenyum dan berlari saat tahu aku menungunya di halaman sekolah adalah momen terindah yang akhirnya aku rasakan. Ya, aku selalu ingin meminta maaf pada anak pertamaku karena sudah menyia-nyiakan waktunya di masa lalu. Maafkan Umma, Nak.

Posting Komentar

0 Komentar